Nasib Pelanggan Pasca Dua Puluh Dua Tahun UU No.8 Tahun 1999

SY | Senin, 06 September 2021 - 14:11 WIB
BPKN

Nasib Pelanggan Pasca Dua Puluh Dua Tahun UU No.8 Tahun 1999
Dr. Firman Turmantara
-

Jakarta - Secara konstitusional, bangsa Indonesia telah berkomitmen bahwa konsumen, yakni semua rakyat Indonesia harus dilindungi secara hukum, dan hal itu telah disepakati dengan disahkannya UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) pada tanggal 20 April 1999, yang diberlakukan setahun kemudian dan dalam alinea terakhir Penjelasan Umum disebutkan bahwa undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.

Setiap orang, tanpa melihat usia, gender, jabatan, profesi, status sosial, termasuk pelaku usaha adalah konsumen dari barang dan/atau jasa, bahkan seorang konsumen sudah dipastikan menggunakan lebih dari satu produk barang dan/atau jasa, seperti sebagai konsumen makanan/minuman, sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, pelayanan publik dll.

Dengan demikian konsumen itu adalah seluruh rakyat Indonesia. Kemudian muncul pertanyaan, apa perbedaan antara pelanggan (customer) dan konsumen (consumer). UUPK menyebutkan, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-undang ini adalah konsumen akhir, namun konsumen akhir tidak selalu pelanggan.

Pelanggan langsung adalah seseorang atau badan usaha yang langsung membeli dari pelaku usaha. Mereka dapat berupa distributor, pengecer, dan sebagainya. Namun demikian, ada kecenderungan badan usaha untuk mempersempit perhatian mereka, temasuk juga pemasaran mereka, hanya pada mereka yang sesungguhnya mendistribusikan pesanan.

Artinya, Konsumen (Consumer) belum tentu Pelanggan (Customer), tetapi kalau Pelanggan sudah pasti seorang Konsumen juga. Apabila seorang konsumen telah melakukan pembelian produk tertentu lebih dari satu kali maka dapat dikatakan bahwa konsumen tersebut adalah seorang Pelanggan (Customer). Dengan kata lain sebagai dasar hukum atau lebih tepatnya sebagai payung hukum (umbrella act) konsumen maupun pelanggan adalah UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).

Tanggal 4 September diperingati sebagai Hari Pelanggan Nasional (Harpelnas), sebelumnya, tanggal 20 April diperingati sebagai Hari Konsumen Nasional (Harkonas), bahkan lebih awal lagi tanggal 15 Maret diperingati sebagai Hari Hak-Hak Konsumen Internasional.

Namun setelah UUPK berusia 22 tahun, nasib konsumen dan pelanggan nyaris tidak berubah. Hal ini bisa dibuktikan dengan masih tingginya angka pengaduan bahkan sengketa konsumen. Data ini bisa dilihat dari masuknya pengaduan konsumen ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Lembaga Komsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) termasuk pengaduan/keluhan konsumen lewat surat pembaca atau medsos, dan masih tingginya sengketa konsumen yang ditangani Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Tingginya angka pengaduan, keluhan dan sengketa antara pelanggan dengan pelaku usaha, terutama terlihat pada masa pandemi ini khususnya di sektor jasa keuangan (dengan pelaku usaha jasa keuangan, seperti kasus pinjaman online dan leasing), meskipun sudah ada peraturan teknis/sektoral seperti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan POJK Nomor 11/POJK.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 yang diubah dengan POJK Nomor 48/POJK.03/2020.

Di samping itu, kita memiliki Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2017 tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen (STRANAS-PK), yang juga sebagai landasan sinkronisasi lintas sektoral, yang masif, sinergis, harmonis, dan terintegrasi dalam kebijakan bidang perlindungan konsumen/pelanggan.

Indonesia telah memperhatikan aspek perlindungan konsumen/pelanggan sejak 22 tahun lalu, dan ketentuan di atas seharusnya melengkapi (complementary act) dari UUPK, namun faktanya belum begitu dirasakan oleh pelanggan jasa keuangan khususnya yang terkena dampak pandemi, sehingga tujuan negara kesejahteraan berdasarkan Pancasila belum begitu dapat dirasakan secara utuh oleh pelanggan. 

 

Dr. Firman Turmantara S.H S.Sos M.Hum (Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI/Dosen Hukum Perlindungan Konsumen dan Kebijakan Publik Pascasarjana Universitas Pasundan).