Jakarta - Wakil Ketua MPR-RI Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid MA, mendesak Pemerintah tidak sembrono, bertanggung jawab dan berhati-hati soal penerapan kebijakan Pembelajaran Tatap Muka 100 Persen. Pasalnya, kebijakan itu diterapkan justru di tengah meningkatnya jumlah kasus Omicron di tingkat global maupun di Indonesia. Apalagi dengan belajar dari beberapa negara, seperti Korea Selatan yang sempat memberlakukan PTM 100 Persen tetapi dicabut dan sekolah ditutup lagi, karena menjadi cluster baru penyebaran covid-19.
Hidayat menegaskan, dalam kondisi pandemi seperti ini, kaidah yang selalu disampaikan oleh Presiden Jokowi adalah, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Karena itu mestinya demikian juga untuk keselamatan anak didik. Harus menjadi prioritas tertinggi saat menetapkan kebijakan pembelajaran.
“Kewajiban Negara adalah menyelenggarakan pendidikan nasional (pasal 31 UUD NRI 1945). Tetapi sesuai Pembukaan UUD NRI 1945, Negara juga berkewajiban melindungi seluruh rakyat Indonesia. Termasuk anak-anak Indonesia. Jangan sampai mereka menjadi korban karena kesembronoan atau ego birokrat semata,” ujar Hidayat dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (4/1/2022).
Hidayat yang juga Anggota DPR-RI Komisi VIII membidangi urusan Agama, Sosial dan Perlindungan Anak ini menjelaskan, Pemerintah pada dasarnya telah menyadari peningkatan potensi penularan covid-19, dengan memperpanjang PPKM Jawa-Bali selama dua pekan hingga 17 Januari 2022. Kebijakan tersebut membuat seluruh kota/kabupaten di DKI Jakarta, Banten, Yogyakarta, Bali, dan sejumlah kota / kabupaten di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah, menerapkan PPKM level 2, setelah beberapa waktu sebelumnya hanya berada di level 1. Khusus Jakarta, hal itu ditegaskan oleh Mendagri, satu hari setelah pemberlakuan PTM 100 Persen di DKI Jakarta.
“Dengan naiknya PPKM ke level ke 2 tersebut, khususnya di Jakarta, lazimnya berbagai kegiatan kembali disesuaikan dan dibatasi. Maka sudah sewajarnya kegiatan pembelajaran tatap muka yang akan diselenggarakan penuh juga harus mengalami penyesuaian. Khusus di Jakarta, itu sesuai dengan keterangan pers dari Kepala Dinas Pendidikan di DKI, Nahdiana, bahwa peserta didik yang belum dapat mengikuti PTM karena pertimbangan Orang tua, dapat menyampaikan halnya, dan akan dapat mengikuti pelajaran secara daring, yang akan difasilitasi oleh Sekolah. Ini suatu kebijakan solutif dan obyektif,” lanjutnya.
HNW sapaan akrab Hidayat Nur Wahid menilai, kondisi ketika kebijakan PTM 100 Persen dikeluarkan melalui SKB 4 Menteri yakni pada 21 Desember 2021, telah berubah signifikan di awal tahun 2022. Pada 21 Desember 2021 misalnya, penularan Omicron di Indonesia hanya berjumlah 5 kasus. Namun per 3 Januari 2002, saat PTM 100% diberlakukan, jumlah tersebut bukan menurun, malah naik menjadi 162 kasus, itu artinya meningkat lebih dari 3000%.
Apalagi, vaksinasi untuk anak juga belum maksimal, baru mencapai 3,8 juta dosis (3/1/2022). Sementara jumlah siswa SD saja pada tahun 2021 mencapai 24,84 juta anak. Dan jumlah Siswa SMP 10,1 juta anak. Sementara fasilitas bangunan Sekolah pun, tentu tidak mencukupi bila diberlakukan Prokes yang ketat dengan pembuatan jarak bangku sekolah. Belum lagi ditemukan sejumlah kasus anak-anak yang meninggal setelah dilakukan vaksinasi covid-19.
“Saat menerima berbagai aspirasi dari wali murid dan orang tua yang khawatir keselamatan anaknya bila dipaksakan pemberlakuan PTM 100 Persen. Apalagi dengan berbagai perkembangan yang belum teratasi. Agar meluasnya covid-19 akibat kesembronoan Pemerintah seperti di awal penyebaran pandemi covid-19 tak terulang, Pemerintah harus hati-hati dengan mengevaluasi pemberlakuan PTM 100 Persen, mempertimbangkan kondisi penyebaran covid-19 dengan varian barunya ; Omicron. Juga memaksimalkan kesiapan sekolah, dan vaksinasi para murid, secara lebih serius, bertanggung jawab dan obyektif,” ujarnya.
Dalam melakukan evaluasi, HNW mendesak agar Pemerintah mengikuti saran dari para ahli yang juga sudah secara terbuka mengutarakan sikapnya, di antaranya dari IDAI, KPAI, dan Epidemolog.
KPAI (28/12/2021) menyatakan bahwa pembelajaran tatap muka 100 Persen pada 2022 sangat berisiko, lantaran belum meratanya fasilitas kesehatan di sekolah dan masih banyak ditemukan pelanggaran protokol kesehatan, khususnya terkait penggunaan masker dan kebiasaan mencuci tangan.
Hal senada juga disampaikan Epidemolog UI dan Griffit University (3/1/2022), anggota komisi IX dari FPKS (3/1/2022) dan Ketua DPR-RI (4/1/2022), sehingga PTM 100 Persen disarankan untuk dievaluasi. Kalaupun tetap dijalankan, hendaknya secara bertahap dengan memenuhi persyaratan-persyaratan yang menenteramkan peserta didik dan orang tua murid dan para Pendidik.
“Ketika PTM dilaksanakan terbatas di tahun 2021, sejumlah klaster baru covid-19, seperti 50 sekolah di Bandung dan sejumlah sekolah di Pekanbaru, Riau. Maka pengalaman “buruk” di Indonesia dan sebelumnya Korea Selatan, serta masukan dari KPAI, anggota DPR dari F-PKS, Ketua DPR-RI, dan Epidemolog itu penting jadi rujukan bagi evaluasi untuk kebijakan PTM 100 Persen,” sambungnya.
Namun, jika Pemerintah melalui 4 menteri yang menerbitkan SKB tetap ngotot untuk melaksanakan ketetapan PTM 100%, maka Hidayat mengingatkan mestinya Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, yang tak dilibatkan dalam penerbitan SKB 4 Menteri tersebut, dapat memperjuangkan perlindungan untuk Anak-anak. Dengan antara lain mendukung rekomendasi dari IDAI terkait PTM 100% (2/1/2022), khususnya di poin nomor 10 dan 11. Dan mendesak agar 2 rekomendasi itu wajib dilaksanakan. Yakni orang tua dan anak memiliki kebebasan untuk memilih ikut serta dalam pembelajaran tatap muka atau daring. Serta Pemerintah dan Sekolah juga harus tetap memfasilitasi siswa yang memilih untuk belajar secara daring.
Hal itu harusnya juga berlaku untuk anak-anak di Madrasah dan seluruh sekolah yang berada di bawah Kementerian Agama. Menteri Agama yang ikut keluarkan SKB 4 Menteri PTM 100 Persen, mestinya juga melihat kesanggupan Madrasah yang persiapannya baik sarana maupun prasarana secara umum lebih berat dari sekolah-sekolah di bawah Kemendikbud.
Untuk itu Menteri Agama harus bertanggung jawab dengan secara bertahap juga memastikan seluruh sarana dan prasarana serta ketentuan protokol kesehatan dalam pelaksanaan PTM 100 Persen bisa dipenuhi dengan baik di lingkungan Madrasah dan sekolah-sekolah Keagamaan di bawah Kemenag.
Pemerintah mestinya tidak hanya menekan agar sekolah / madrasah dapat menyelenggarakan PTM 100 Persen. Tetapi melihat fakta-fakta di lapangan; vaksinasi yang masih sangat rendah di kalangan anak-anak, sarana prasarana sekolah/madrasah yang belum memadai, penyebaran Covid termasuk varian Omicron, dan banyaknya orang tua dan anak yang khawatir akan keselamatan peserta didik, yang bisa tertular virus covid-19 baik varian delta maupun Omicron, bila mereka ikuti 100 Persen PTM di sekolah maupun madrasah.
Karenanya prinsip “Merdeka Belajar” memang perlu diberikan dengan upaya memenuhi persyaratan-persyaratan obyektif pemberlakuan PTM 100 Persen. Tapi juga tetap harus memberikan hak dan fasilitas untuk anak/siswa yang memilih belajar secara daring karena alasan-alasan obyektif dan dibenarkan. Itu semua demi pemenuhan kewajiban Negara, dan hak warga serta anak-anak peserta didik, agar bisa selamat dari korona. Dan sukses melaksanakan kegiatan belajar bagi generasi muda masa depan Bangsa dan Negara,” pungkasnya.