Pimpinan MPR RI Nilai Usulan Pengusaha Perpanjang Jabatan Presiden Inkonstitusional dan Merugikan Dunia Usaha

Redaksi | Rabu, 12 Januari 2022 - 00:39 WIB
MPR

Pimpinan MPR RI Nilai Usulan Pengusaha Perpanjang Jabatan Presiden Inkonstitusional dan Merugikan Dunia Usaha
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid
-

Jakarta - Wakil Ketua MPR-RI Hidayat Nur Wahid menanggapi usulan dunia usaha yang disampaikan oleh Menteri Investasi Bahlil Lahadalia agar Pemilihan Presiden tahun 2024 dimundurkan. HNW menegaskan bahwa wacana tersebut selain tak sesuai dengan ketentuan konstitusi (UUD NRI 1945) juga tak kondusif bagi iklim berusaha, karena usulan itu memantik polemik yang bisa memicu ketidakpastian hukum tak kondusif untuk perkembangan gerak ekonomi dan investasi.

HNW justru meminta dunia usaha yang telah dibantu ratusan Triliun rupiah via APBN itu untuk fokus hadirkan kondisi yang kondusif laksanakan ketentuan konstitusi dan bersama-sama Negara dan Rakyat berkontribusi maksimal untuk atasi masalah ekonomi dan sosial dampak dari covid-19. 

“Karena ketentuan soal masa jabatan Presiden itu bukanlah domainnya Pengusaha, melainkan UUD NKRI 1945. Aturan-aturannya pun sangat jelas dan tegas. Pasal 7 UUD NKRI 1945 hanya membolehkan Presiden menjabat maksimal dua periode, dan pasal 22E mengamanatkan agar Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Artinya sudah fixed, tidak ada alternatif konstitusional untuk perpanjangan menjadi 3 periode, maupun penambahan 3 tahun untuk periode ke dua karena itu tidak sesuai dengan Konstitusi. Apalagi untuk bisa mengubah ketentuan UUD itu, kewenangannya sesuai dengan UUD adanya di MPR (pasal 3 & 37), dan di MPR tidak ada agenda perubahan UUD untuk memperpanjang masa jabatan Presiden. Dan tidak ada satu pun anggota MPR yang mengusulkan perubahan itu, padahal UUD mengatur jumlah syarat minimal jumlah pengusul yaitu 1/3 anggota MPR yaitu 237 anggota MPR. Maka wajar bila Pemerintah dan DPR juga sudah sepakat, bahwa Pemilu (legislatif maupun pilpres/eksekutif) tetap akan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan UUDNRI 1945 dan UU Pemilu yaitu pada tahun 2024. Ketentuan Konstitusi ini harus ditaati dan dihormati semua warga, termasuk dari kalangan pengusaha. Apalagi pandemi covid-19 juga terjadi di semua negara demokratis, seperti Amerika Serikat, Iran, New Zealand, dengan segala dampak sosial dan ekonominya, tapi tak ada yang karena alasan ekonomi akibat covid-19 kemudian mengubah konstitusinya untuk menambahkan masa jabatan bagi Presiden” ujar Hidayat Nur Wahid dalam keterangannya, Senin (10/1/2021).

Menurut Hidayat, usulan tersebut justru akan merugikan dunia usaha sendiri, lantaran akan bisa memunculkan ketidakpastian hukum, sesuatu yang tidak disukai oleh dunia usaha. Belum lagi polemik yang timbul di masyarakat bisa memberikan guncangan pada stabilitas sosial-politik yang berdampak negatif ke dunia usaha di Indonesia juga. 

“Usulan tersebut justru paradoks dengan tradisi dunia usaha yang selama ini justru menuntut hadirnya kepastian hukum, agar bisnis dan investasi lancar. Sehingga patut dipertanyakan apakah benar usulan tersebut datang dari mayoritas pengusaha atau justru dari segelintir pengusaha yang berkepentingan saja,” lanjutnya.

Apalagi, berdasarkan hasil survei Indikator Politik Indonesia dan survey-survey lainnya, mayoritas masyarakat Indonesia menolak perpanjangan masa jabatan Presiden. Penolakan tersebut terjadi lebih tinggi di kelompok masyarakat yang memiliki pengetahuan soal ketentuan masa jabatan Presiden sebagaimana yang tercantum di Konstitusi.

“Jika ada pengusaha yang menginginkan perpanjangan periode Presiden dan penundaan Pemilu karena faktor ekonomi, maka tentu wawasan kebangsaan dan pemahaman konstitusinya perlu ditingkatkan. Kami di MPR siap untuk mensosialisasikan pemahaman berkonstitusi secara benar itu kepada dunia usaha,” ujarnya.

Dirinya mengingatkan bahwa selama pandemi covid-19, dunia usaha sudah “dimanjakan” oleh APBN melalui beragam bantuan dan insentif yang jumlahnya meningkat dari tahun 2020 ke tahun 2021. Pada tahun 2020, anggaran PEN untuk Korporasi-UMKM dan insentif usaha sebesar Rp 170 Triliun. Pada tahun 2021, anggaran tersebut meningkat menjadi Rp 230 Triliun.

“Keberpihakan Negara kepada dunia usaha tersebut seharusnya membuat dunia usaha membalas dengan kontribusi nyata bangkitnya ekonomi dan lancarnya investasi, tidak malah melemparkan usulan yang kontroversial, polemis, menabrak konstitusi dan karenanya tidak kondusif untuk memperbaiki dunia usaha. Mestinya Menteri Investasi/Kepala BKPM justru ingatkan para pengusaha yang sudah nikmati insentif modal dan pajak itu untuk taati konstitusi agar hadirkan kondisi yang kondusif untuk dunia usaha dan politik, dan mengatasi dampak-dampak dari covid-19 dengan segala variannya, menciptakan stabilitas kondisi sosial ekonomi dan politik yang kondusif menuju transisi kepemimpinan nasional pada tahun 2024 nanti,” pungkasnya.