Jakarta - Ketua MPR RI dan Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Bambang Soesatyo (Bamsoet), menegaskan pentingyna menghargai terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi terkait keberadaan TAP MPR.
Meskipun demikian, Bamsoet memberikan peringatan terhadap potensi bahaya jika terjadi keadaan luar biasa yang mengancam keutuhan bangsa dan negara tanpa ada regulasi yang jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945.
"Tidak kita pungkiri bahwa setelah amandemen keempat, konstitusi ternyata masih menyisakan beberapa persoalan yang belum ada rujukan penyelesaian konstitusionalnya. Persoalan-persoalan itu antara lain, bagaimanakah langkah konstitusional yang dapat kita tempuh, seandainya dalam keadaan tertentu muncul keadaan yang luar biasa yang berpotensi mengancam keutuhan bangsa dan negara. Sementara UUD belum merumuskan dengan jelas untuk mengatasi keadaan itu," ujar Bamsoet dalam keterangannya, Rabu (17/1/2024).
Misalnya, kata Bamsoet menjelang Pemilihan Umum terjadi sesuatu yang di luar dugaan bersama, seperti bencana alam yang dahsyat, atau pandemi yang tidak segera dapat diatasi.
Bamsoet pun mempertanyakan lembaga manakah yang berwenang menunda pelaksanaan pemilihan umum.
Ia juga membahas bagaimana pengaturan konstitusional jika pemilihan umum tertunda, sedangkan masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, anggota MPR, DPR, dan DPD, serta para menteri anggota kabinet (termasuk triumvirat: Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan) telah habis.
"Masalah-masalah seperti ini belum ada jalan keluar konstitusionalnya. Idealnya, UUD 1945 harus dapat memberikan jalan keluar secara konstitusional, menyediakan sebuah 'pintu darurat', untuk mengatasi kebuntuan ketatanegaraan atau 'constitutional deadlock'," kata Bamsoet.
Dalam peluncuran buku ke-32 berjudul 'Konstitusi Butuh Pintu Darurat: Urgensi Memulihkan Wewenang Subjektif Superlatif MPR RI', Bamsoet mengatakan jika kondisi luar biasa benar-benar terjadi, maka prinsip kedaulatan rakyat yang harus dikedepankan untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut.
Secara akademis, lembaga MPR yang diisi oleh anggota-anggota DPR dan DPD yang seluruhnya produk pemilihan umum menjadi satu-satunya lembaga negara yang paling merepresentasikan wujud kedaulatan rakyat.
"Sesuai amanat ketentuan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar, sebagai representasi dari prinsip daulat rakyat, maka MPR dapat diatribusikan dengan kewenangan subyektif superlatif dan kewajiban hukum untuk mengambil keputusan atau penetapan yang bersifat pengaturan guna mengatasi dampak dari suatu keadaan kedaruratan. Misalnya berupa kahar politik ataupun kahar fiskal yang tidak dapat diantisipasi dan tidak bisa dikendalikan secara wajar," paparnya.
Ia menegaskan kewenangan subyektif superlatif memiliki makna strategis untuk mengembalikan dan menyempurnakan daulat rakyat yang terepresentasikan oleh lembaga perwakilan yang 'lengkap' dalam kelembagaan MPR, yakni terdiri dari unsur DPR dan DPD.
Ketetapan MPR dimaknai dan diterima sebagai rumusan aspirasi terbaik menurut semua elemen masyarakat. Setiap kebijakan strategis yang diberlakukan melalui Tap MPR menurutnya patut dipahami sebagai kesepakatan seluruh rakyat untuk kemaslahatan bersama.
"Mengeliminasi wewenang subyektif superlatif dari MPR, dapat dimaknai mereduksi kekuasaan tertinggi rakyat yang telah memberi mandat kepada presiden. Dalam konsepsi ini, maka kuasa rakyat dalam menetapkan arah dan masa depan bangsa melalui permusyawaratan dan perwakilan, sebagaimana diamanatkan oleh sila ke-4 Pancasila, 'Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan', hanyalah sebuah utopia," ujarnya.
Adapun dalam peluncuran buku ini turut hadir Mantan Ketua MK yang kini Anggota DPD RI Prof Jimly Asshiddiqie sebagai pembahas. Ia mendorong masuknya kembali Utusan Golongan dan Utusan Daerah di MPR.
Kepala LLDIKTI Wilayah 3 Kemenristek Prof Toni Toharudin pun mengatakan pemikiran yang dituangkan Bamsoet dalam bukunya ini tidak hanya menyajikan analisis kritis terkait peran MPR RI. Namun juga menawarkan solusi konkret dalam hal bangsa negara menghadapi kegentingan yang tidak diatur dalam konstitusi pasca amandemen keempat.