Jakarta - Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, baik pejabat negara dan PNS dilarang menerima gratifikasi, karena berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi.
Menjelang Hari Raya Idul Fitri, baik pejabat maupun pegawai negeri sipil (PNS) rawan menerima gratifikasi.
Terkait hal tersebut, Inspektorat Utama (Ittama) Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR mengingatkan seluruh pegawai Setjen DPR untuk menghindari penerimaan gratifikasi yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Sebagai PNS di Setjen DPR, intinya menghindari penerimaan gratifikasi yang di luar aturan dari undang undang-nya,” kata Inspektur II Ittama Setjen DPR, Furcony Putri Syakura usai mengikuti agenda Sosialisasi Pengelolaan dan Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Setjen DPR RI di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Rabu (3/4).
Seandainya, jika menerima gratifikasi yang rata-rata ketentuan, dalam waktu 30 hari, harus melaporkan kepada KPK.
“Jika rata-rata di bawah Rp200.000 maka cukup melaporkan ke Unit Pengelola Gratifikasi yang ada di setiap deputi,” ujarnya.
Si CantiK
Sebelumnya, dalam rangka membangun kolaborasi Fraud Control Plan (FCP) berbasis sistem pencegahan antikorupsi, Ittama Setjen DPR juga telah me-launching Sistem Pencegahan Anti Korupsi atau disingkat 'Si CantiK' (Sistem Pencegahan Anti Korupsi).
Sistem ini bertujuan untuk semakin meningkatkan nilai integritas pegawai Setjen DPR.
“Jadi 'Si CantiK' ini adalah suatu bentuk regulasi ya, regulasi kebijakan untuk sebagai pelopor menghitung atau mendeteksi adanya korupsi ya. Sehingga kami memang saya membangun kolaborasi FCP berbasis sistem pencegahan anti korupsi yaitu lebih dikenal Si CantiK,” kata Cony.
“Karena tujuannya apa, saya membangun FCP berbasis Si CantiK agar meningkatkan nilai integritas pegawai Setjen DPR. Tentu saja setiap kementerian, setiap lembaga membuat atau melakukan kebijakan sistem pencegahan anti korupsinya disesuaikan dengan kebutuhan instansi masing-masing. Jadi tidak bisa sama, jadi di instansi kami parameternya adalah melalui Si CantiK,” tandasnya.
Melalui sistem 'Si CantiK' berbasis sertifikasi ISO 37001 (standar internasional pengaturan tentang sistem manajemen anti penyuapan) itu, Cony mengharapkan sistem pencegahan penyuapan tersebut menjadi nilai-nilai yang bisa menjadi role model untuk kementerian atau lembaga lainnya khususnya yang berkaitan dengan aparatur pengawasan internal pemerintah di Indonesia.
“Kedepannya, karena sistem ini adalah berbasis kebijakan. Ya saya kebetulan memang salah satu pelopor FCP di DPR yang memang belum pernah ada ya. Jadi kami akan menuangkan dalam bentuk regulasi, dalam bentuk kebijakan berupa SK Sekretaris Jenderal DPR tentang pedoman implementasi pelaksanaan FCP,” ujarnya.