Deputi I Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan, I Gusti Ketut Astawa

Jangan Selalu Bergantung pada Beras

Elma Damayanti | Selasa, 22 Oktober 2024 - 17:04 WIB
Kita ini negara besar, subur dan kaya. Ayam, ikan, kambing, sapi, dan hewan lainnya berlimpah. Sepanjang kita memanfaatkan keanekaragaman ini niscaya kita tidak akan pernah krisis pangan.

Jangan Selalu Bergantung pada Beras
Deputi I Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan, I Gusti Ketut Astawa. (majalahfive/Darussalam)
-

Jakarta - Penggemar olahraga catur ini sengaja menyajikan satu papan catur lengkap dengan bidaknya di ruang tamu kerjanya nan asri di bilangan Ragunan, Jakarta Selatan.

Berpengalaman sejak tahun 1991 sebagai PNS di Kementerian Perdagangan, kini pria kelahiran Bali ini mengemban amanah sebagai Deputi di Badan Pangan Nasional (Bapanas) yang membidangi Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan.

Menurutnya, ke depan pola konsumsi masyarakat harus diubah. Seperti apa? Simak petikan wawancaranya dengan Majalah FIVE berikut ini :

Secara umum bisa dijelaskan fungsi dan tugas Deputi I Bapanas?

Kami mengendalikan dan menjaga bagaimana ketersediaan, pasokan, dan stabilitas harga pangan di masyarakat. Kami menyiapkan berbagai kebijakan, pertama terkait dengan bagaimana menyiapkan data ketersediaan pangan agar kami paham betul berapa konsumsi, produksi, dan importasinya.

Karena bagaimana pun, salah satu pilar ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan. Kalau pangannya sudah tersedia, kemudian kita bicara keterjangkauan, kualitas, dan keamanan pangan serta kontinuitasnya.

Jadi semuanya itu menjadi satu kesatuan ya?

Benar, empat hal di atas menjadi satu kesatuan, sehingga kalau berbicara ketahanan pangan tidak bisa hanya ketersediaan pangan. Oleh karena itu, kami dalam membuat data neraca ketersediaan pangan harus benar-benar akurat, sehingga bisa menggambarkan bagaimana kondisi produksi dan konsumsi kita secara aktual sebagai dasar untuk kebijakan-kebijakan selanjutnya.

Bagaimana tindak lanjutnya setelah ada neraca ketersediaan pangan itu?

Dengan adanya neraca pangan, dari situ dilanjutkan dengan fungsi kedua, yaitu bagaimana menjaga semua kebijakan yang terkait dengan stabilisasi pasokan dan harga pangan tadi, sehingga kami membuat kebijakan antara lain terkait dengan Harga Acuan Pembelian di tingkat produsen (HAP tingkat Produsen) dan Harga Acuan Penjualan di tingkat konsumen (HAP tingkat konsumen) serta Harga Eceran Tertinggi (HET).

HET ini tujuannya ketika pangan milik pemerintah dalam hal ini yang menjadi Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) didistribusikan ke masyarakat, maka pelaku usaha dan masyarakat wajib mengikut ketentuan HET. Sementara HAP diterapkan untuk komoditas yang bukan milik pemerintah (bukan CPP), tapi ada di masyarakat.

Fungsinya untuk mengetahui seberapa besar disparitas harga yang ada di lapangan dengan harga acuan, sehingga kami harus melakukan intervensi.

Fungsi lainnya?

Kami juga mendorong agar bagaimana pemerintah memiliki Cadangan Pangan Pemerintah (CPP), untuk itu kami menugaskan Perum BULOG dan BUMN Pangan untuk mengelola CPP. Contuhnya untuk Beras, Pemerintah menugaskan Perum BULOG agar memiliki stok akhir tahun minimal 1,2 juta ton untuk carry over tahun berikutnya.

Stok tersebut sangat penting karena pada awal tahun, khususunya bulan Januari dan Februari produksi beras kita relatif agak turun akibat belum masuk musim panen sehingga perlu ada stok yang mencukupi di awal tahun agar Pemerintah dapat melakukan intervensi.

Begitu juga untuk komoditas lainnya, kami telah menetapkan stok akhir untuk setiap komoditas dan jumlah minimal yang dikelola oleh Perum BULOG dan BUMN Pangan.

Disebut ketersediaan pangan itu berapa besar dan berapa lama?

Sebetulnya yang dimaksud dengan ketersediaan itu bagi kami adalah cadangan pangan, yakni Cadangan Pangan Pemerintah (CPP), Cadangan Pangan Pemerintah Daerah (CPPD), dan Cadangan Pangan Masyarakat. Secara umum, idealnya jumlah Cadangan Pangan itu minimal tiga bulan kebutuhan, meskipun akan berbeda-beda untuk setiap komoditas.

Intinya Cadangan Pangan itu harus dikuasai oleh pemerintah sehingga harga pangan bisa stabil. Kalau harganya sudah stabil pemerintah tidak perlu turun tangan untuk intervensi. Biarkan pasar bergerak secara normal dan pemerintah jangan terus menerus turun tangan, ini malah kurang baik.

Ketersediaan itu juga harus diikuti dengan kemampuan daya beli masyarakat. Sebab buat apa ada barang tapi tak harganya terjangkau?

Memang begitu, tapi justru ketersediaan itu harus menjamin keterjangkauan. Kalau ketersediaan menipis, otomatis harga akan tinggi sehingga tidak terjangkau oleh masyarakat. Salah satu dampak positif jika pemerintah memiliki cadangan pangan yang mencukupi, maka harga akan terjangkau.

Mengenai stabilisasi pangan, apakah itu hanya ketersediaan pangan atau juga mencakup harganya?

Ketersediaan dan harga saling berkaitan, jika ketersediaannya terganggu maka harga juga akan terpengaruh. Kita melihatnya dari sisi HAP maupun HET. Misalnya untuk HET Beras ada zonasi yang dibagi menjadi tiga wilayah. di mana HET-nya berbeda satu dengan lainnya. Dari situlah kita menjaga stabilisasi, kalau kita bisa menjaga fluktuasi sampai 10 persen saja terhadap HAP atau HET, maka masih stabil.

Tapi begitu harga pangan bergejolak naik-turun, maka disinilah Bapanas berfungsi, karena Badan ini tidak hanya menjaga di hilir, tapi juga hulu. Stabilisasi harga dan pasokan ini kami hubungkan juga dengan inflasi. Ini yang harus kita jaga, jangan sampai tingkat produksi kita menurun meskipun data kami produksi Gabah Kering Panen (GKP) masih aman, karena tujuan kita adalah mencapai swasembada pangan.

Sebagai negara agraris ternyata kita masih impor beras. Kapan kita akan mencapai swasembada beras?

Salah satu hal jika kita ingin swasembada beras adalah menjaga harga di petani relatif wajar dan memberikan keuntungan bagi petani. Pemerintah harus menjaga harga di hulu agar harga jangan sampai anjlok, sehingga kami melihatnya ketika harga di hulu turun 10 persen kami harus melakukan mitigasi, demikian halnya saat harga di hilir naik 10 persen, jadi harus seimbang antar hulu dan hilir. Untuk itu kami punya program yang dinamakan Fasilitasi Distribusi Pangan dan Gerakan Pangan Murah untuk menjaga stabilitas harga pangan baik di hulu maupun hilir.

Untuk menjaga stabilisasi pangan dan harga ini sebetulnya bukan pekerjaan sederhana ya?

Sangat… Karena kalau kami kembali ke peraturan yang ada, Bapanas itu kan meregulasi, sehingga kami harus melibatkan semua pemangku kepentingan. Kalau di sisi produksi kita akan berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian, kalau berbicara soal perdagangan kami akan kontak Kementerian Perdagangan, begitu juga untuk sisi lain harus melibatkan Kementerian/Lembaga terkait.

Tidak lupa, kami juga harus melibatkan produsen dan pelaku usaha pangan mulai dari petani dan peternak kemudian masuk ke distributor sampai ke penjual di pasar.

Sering kali harga melambung tinggi terus diikuti penurunan yang tajam, ini bagaimana?

Mata rantai pasok pangan ini kan panjang, itu gaya pedagang kita. Ketika saya di Kementerian Perdagangan sering turun ke pasar melihat beras dari Pasar Induk Kramat Jati turun ke pasar. Tapi di antara pedagang di pasar ada di antara mereka yang jadi pengepul; menjual secara eceran dan menjual dalam jumlah besar ke pedagang lain. Dengan panjangnya mata rantai itu, otomatis harga akan tinggi.

Kalau di pasar tradisional kelebihannya akan punya beraneka ragam harga. Ini tidak bisa dikendalikan, karena mereka pikir beras ini punya mereka kalau dijual dengan harga sekian, memangnya kenapa?

Di dalam pasar saja bisa terjadi dua-tiga rantai pasok, ini yang menyebabkan harga bisa berbeda dalam satu pasar. Harga beras yang pasti ada di retail modern; Rp 14.900/kg.

Bagaimana caranya agar harga itu relatif stabil?

Kalau harga sudah terlalu tinggi maka kami masuk dengan SPHP atau Stabilisasi dan Harga Pangan. Kita sudah menjalankan SPHP Beras yaitu beras subsidi yang digulirkan pemerintah untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan pangan, khususnya untuk masyarakat menengah ke bawah.

Program SPHP diselenggarakan oleh Bapanas dan dijalankan oleh Perum Bulog serta BUMN Pangan. Beras SPHP sendiri berasal dari Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang diserap dari petani di seluruh Indonesia.

Pembelian Beras SPHP dibatasi maksimal 10 kg per orang. Beras SPHP dijual melalui pedagang yang menjadi Mitra Perum BULOG sesuai dengan HET yang ditetapkan. Jika terbukti menjual beras SPHP di atas HET, pedagang akan dikenai sanksi, misal pemutusan kerja sama dengan Perum BULOG.

Masyarakat kita apa hanya tergantung beras untuk konsumsi mereka sehari-hari?

Kami selalu mendorong penganekaragaman pangan dan penganekaragaman konsumsi pangan, misalnya ada ubi dan sagu yang merupakan sumber karbohidrat berbasis kearifan lokal yang dapat dikonsumsi masyarakat. Pengalaman saya selama seminggu di Bogor beberapa waktu lalu hanya mengonsumsi, ubi, singkong, talas dan kentang ditambah sayur yang banyak tetap sehat meskipun tanpa nasi.

Mestinya ini menjadi gaya hidup ke depan, jangan selalu bergantung pada beras. Kita ini negara besar, subur dan kaya. Ayam, ikan, kambing, sapi, dan hewan lainnya berlimpah. Sepanjang kita memanfaatkan keanekaragaman ini niscaya kita tidak akan pernah krisis pangan. Pangan yang ada di Bumi Pertiwi ini untuk kemakmuran kita bersama, harus dimanfaatkan seluas luasnya.