JAKARTA - Anggota Badan Pengkajian MPR RI dari Fraksi Golkar, Firman Subagyo, menegaskan pentingnya membahas urgensi dan bentuk hukum dari Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai pedoman pembangunan jangka panjang nasional.
Hal ini disampaikan Firman dalam diskusi konstitusi dan demokrasi Indonesia dengan tema “Pokok-Pokok Haluan Negara Bentuk Hukum dan Substansi” di Ruang PPIP, Gedung Nusantara I, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (30/7/2025).
Menurut Firman, dasar hukum dari pembahasan PPHN merujuk pada Ketetapan MPR Nomor 3 Tahun 2024 yang merekomendasikan pembahasan substansi dan bentuk hukum PPHN. "Rekomendasi ini belum bersifat mengikat. Karenanya, kajian lebih mendalam perlu dilakukan melalui forum akademik dan konsultasi dengan berbagai pihak, termasuk presiden dan pimpinan partai politik," tegas Firman.
Firman menyoroti perubahan sistem hukum pembangunan nasional pasca-reformasi, di mana Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang sebelumnya ditetapkan MPR digantikan oleh UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN. "Sejak itu, pembangunan nasional lebih berorientasi pada visi-misi presiden terpilih. Ini menyebabkan kelemahan dalam kesinambungan antar-pemerintahan, serta kesenjangan antara pusat dan daerah," ungkapnya.
Firman menambahkan, jika PPHN akan diwujudkan, maka harus memiliki dasar hukum kuat, baik melalui amendemen terbatas UUD 1945 maupun melalui undang-undang. Namun, pembentukan lewat undang-undang berpotensi melemahkan posisi PPHN karena bisa diubah sewaktu-waktu oleh DPR. "Kita harus menyesuaikan bentuk hukum PPHN agar tidak bertentangan dengan sistem presidensial yang dianut saat ini," imbuhnya.
Firman juga menyebut bahwa Presiden Prabowo Subianto dikabarkan memiliki minat melanjutkan pembahasan PPHN. “Namun masih belum jelas bentuk hukumnya seperti apa. Maka MPR perlu segera membangun komunikasi politik dengan Presiden dan para pimpinan partai untuk menyatukan persepsi,” tuturnya.
Dalam diskusi yang sama, Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menyuarakan kritik tajam terhadap sistem pembangunan berbasis visi-misi presiden. Ia mengingatkan bahwa terlalu menggantungkan arah pembangunan pada satu orang dapat membahayakan kesinambungan dan jati diri bangsa.
"Jangan salah, kalau presidennya bagus ya bagus, kalau tidak, bangsa ini bisa terombang-ambing. Kita harus kembali pada semangat kolektif sebagaimana dicita-citakan dalam perdebatan perumusan UUD 1945: gotong royong, kebersamaan, bukan satu orang," ujar Margarito.
Ia mengusulkan agar PPHN lebih tepat disebut sebagai Pokok-Pokok Haluan Pembangunan Nasional yang substansinya menjabarkan mimpi kolektif bangsa, bukan sekadar kebijakan eksekutif.
Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute, Karyono Wibowo, menambahkan bahwa kehadiran PPHN bukan hal baru dalam sejarah tata negara Indonesia. Ia menyebut bahwa sejak era Bung Karno hingga awal reformasi, negara memiliki pola pembangunan jangka panjang melalui ketetapan MPRS/MPR.
Namun, pasca-amandemen UUD 1945 dan penghapusan GBHN, arah pembangunan menjadi tidak konsisten. "Selama 25 tahun tanpa GBHN, perlu ada evaluasi komprehensif—baik kualitatif maupun kuantitatif tentang efektivitas pembangunan nasional. Harus ada perbandingan nyata antara masa ada GBHN dan sesudahnya,” kata Karyono.
Ia menilai PPHN penting agar pembangunan tetap berada “on the right track” sesuai Pancasila dan UUD 1945. Namun, bentuk hukumnya harus disesuaikan agar tidak mencederai sistem presidensial. “Perlu dibuat PPHN yang tidak mengurangi kewenangan presiden secara signifikan, tetapi tetap menjamin kesinambungan antar-rezim,” jelasnya.
Pembahasan PPHN hingga kini belum menemukan bentuk hukum yang final. MPR mendorong adanya forum konsultasi antar-lembaga tinggi negara dan dialog politik lintas partai. Momen pidato kenegaraan 17 Agustus disebut Firman sebagai kesempatan strategis untuk menyampaikan arah kebijakan ini secara resmi kepada publik.
Dengan urgensi yang semakin nyata, terutama dalam menjaga kesinambungan pembangunan nasional, PPHN dipandang sebagai jawaban atas kebutuhan jangka panjang bangsa. Namun, tanpa dasar hukum yang kuat dan komunikasi politik yang solid, ide tersebut akan terus menggantung di udara.