JAKARTA – Anggota Badan Pengkajian Fraksi Golkar MPR RI, Firman Subagyo, menyoroti dinamika hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam konteks desentralisasi dan otonomi daerah. Menurutnya, sejumlah regulasi terbaru justru cenderung menarik kembali kewenangan daerah ke pusat, menimbulkan gejolak dan ketimpangan pembangunan antarwilayah.
Hal itu disampaikan Firman dalam diskusi bertajuk “Hubungan Pusat dan Daerah: Optimalisasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah” yang digelar di Ruang PPIP, Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Rabu (10/9/2025).
“Akhir-akhir ini muncul berbagai gejolak di daerah. Ini merupakan akumulasi dari regulasi yang seolah-olah menarik kembali peran daerah. Padahal, semangat otonomi daerah adalah memperkuat peran lokal dalam pembangunan,” kata Firman.
Firman mengungkapkan ada empat landasan hukum utama yang menjadi dasar pengaturan hubungan pusat dan daerah, yaitu:
Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga dan keempat, yang menegaskan kewajiban negara melindungi segenap bangsa tanpa terkecuali, termasuk daerah.
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, termasuk revisinya dalam UU No. 9 Tahun 2015.
UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang menggantikan UU No. 33 Tahun 2004.
Regulasi-regulasi turunan lainnya yang kerap menimbulkan tumpang tindih, terutama dalam implementasi di lapangan.
Firman menyampaikan sejumlah kelebihan desentralisasi dan otonomi daerah, antara lain:
Pemberdayaan daerah, yang memungkinkan peningkatan partisipasi masyarakat dan percepatan pembangunan.
Efisiensi pemerintahan, dengan pemangkasan birokrasi dalam pengambilan keputusan.
Pengembangan potensi lokal, yang mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis keunggulan daerah.
Namun, ia juga mengingatkan berbagai tantangan dan kekurangan, seperti:
Ketimpangan pembangunan, antara daerah kaya dan miskin.
Tumpang tindih kebijakan, antara pusat dan daerah.
Minimnya kapasitas SDM dan kelembagaan, terutama di daerah tertinggal.
“Kalau kepala daerahnya berasal dari birokrat murni, seringkali mereka lamban dan tidak inovatif. Bandingkan jika dipimpin oleh profesional yang paham potensi daerahnya,” ungkap Firman.
Firman secara khusus menyoroti Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai contoh daerah yang kaya potensi namun minim perhatian pusat. Ia menyayangkan Indonesia masih mengimpor garam, padahal NTT memiliki iklim dan potensi produksi garam yang tinggi.
“Dulu pemerintah pernah izinkan Australia untuk budidaya garam di sana. Tapi akhirnya tidak jalan. Ini menunjukkan lemahnya komitmen kita mengembangkan potensi lokal,” ujarnya.
Firman juga menyoroti lemahnya koordinasi antarlevel pemerintahan. Salah satu masalah nyata, kata dia, adalah gubernur yang tidak memiliki kewenangan mengontrol bupati dan wali kota.
“Banyak gubernur mengeluh ketika mengundang rapat para bupati, tidak ada yang datang. Mereka merasa tidak berada di bawah gubernur,” ujarnya prihatin.
Selain itu, digitalisasi yang digalakkan pemerintah pusat juga dinilai tidak realistis, karena tidak mempertimbangkan kesiapan infrastruktur dan kapasitas masyarakat di daerah.
“Petani kita disuruh pakai kartu tani, padahal banyak yang bahkan belum punya ponsel pintar. Sistem yang tidak siap justru menghambat distribusi pupuk dan beras,” kritiknya.
Untuk memperbaiki hubungan pusat dan daerah serta mengoptimalkan desentralisasi, Firman mengusulkan beberapa langkah strategis:
Peningkatan kapasitas SDM daerah, melalui pelatihan dan pendampingan.
Penguatan kelembagaan lokal, termasuk fungsi DPRD.
Koordinasi kebijakan yang lebih baik, untuk menghindari tumpang tindih.
Pengawasan dan evaluasi reguler, guna mengidentifikasi masalah dan memperbaikinya.
Peningkatan partisipasi masyarakat, dalam proses perencanaan dan pembangunan.
“Check and balance saat ini lemah. DPRD sebagai bagian dari pemerintahan justru kehilangan fungsi kontrolnya,” tegas Firman.
Ia berharap agar pemerintah pusat bersikap lebih bijaksana, tidak hanya mendorong program-program nasional tetapi juga memperhatikan kesiapan dan kebutuhan daerah.
“Otonomi daerah bukan soal ego kekuasaan, tapi soal mempercepat kesejahteraan masyarakat. Jangan sampai kebijakan sentralistik malah memicu instabilitas di daerah,” pungkasnya.