Dedi Iskandar: DPD Harus Diperkuat Lewat Amandemen UUD, Demokrasi Kita Butuh Jalan Ketiga

Kiki Apriyansyah | Rabu, 01 Oktober 2025 - 15:47 WIB
Dedi Iskandar Batubara, mendorong penguatan kewenangan DPD lewat amandemen kelima UUD 1945. Menurutnya, momen HUT ke-21 DPD RI yang jatuh pada 1 Oktober menjadi waktu yang tepat untuk mempertegas peran DPD sebagai lembaga legislatif yang sejajar dalam sistem ketatanegaraan.

Dedi Iskandar: DPD Harus Diperkuat Lewat Amandemen UUD, Demokrasi Kita Butuh Jalan Ketiga
Anggota DPD RI sekaligus unsur Badan Pengkajian MPR RI Dedi Iskandar Batubara (kiri) dan pendiri Skala Survei Indonesia (SSI), Abdul Hakim (kanan) dalam diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia bertema “Wewenang dan Pola Hubungan Antar Lembaga Negara” di Gedung Nusantara I, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (1/10/2025).
-

JAKARTA - Anggota DPD RI sekaligus Anggota Badan Pengkajian MPR RI, Dedi Iskandar Batubara, menilai momentum HUT ke-21 Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI yang jatuh pada 1 Oktober harus dijadikan titik tolak untuk mendorong penguatan kewenangan DPD lewat amandemen kelima UUD 1945.

“Ini momentum yang cukup baik. DPD lahir dari hasil amandemen UUD, tapi sampai hari ini kewenangannya belum maksimal. Kita hanya bisa mengusulkan RUU yang terkait dengan daerah, tapi belum bisa membahas apalagi menetapkan,” kata Dedi dalam diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia bertema “Wewenang dan Pola Hubungan Antar Lembaga Negara” di Gedung Nusantara I, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (1/10/2025).

Dedi menilai sistem presidensial Indonesia saat ini terlalu kuat di tangan eksekutif. Ia juga menyayangkan praktik otonomi daerah yang menurutnya justru kembali tersentralisasi.

“Kita ini presidensial yang sangat kuat. Eksekutif bisa mengusulkan dan membahas RUU bersama DPR. Tapi DPD, yang dipilih langsung oleh rakyat dari tiap provinsi, justru tidak punya kekuatan legislasi yang setara,” ujarnya.

Menurutnya, DPD seharusnya menjadi semacam check and balance dalam sistem legislasi, apalagi karena anggotanya merupakan representasi daerah yang paling tahu kondisi di lapangan.

“Sebagian besar anggota DPD adalah orang-orang daerah yang tahu persis kebutuhan di wilayahnya. Kalau legislasi yang berkaitan dengan daerah diserahkan ke DPD, itu akan lebih tepat sasaran,” jelas Dedi.

Untuk memperkuat peran DPD, Dedi menawarkan tiga pendekatan strategis:

Pertama Amandemen Kelima UUD 1945

“Ini yang paling maksimal. Kalau DPD bisa ditegaskan sebagai kamar kedua parlemen yang setara, itu akan memperbaiki sistem bikameral kita,” tegasnya.

Kedua Penguatan Fungsi Pengawasan

Jika jalan amandemen masih panjang, DPD bisa mengambil peran maksimal dalam pengawasan pelaksanaan undang-undang, terutama terkait transfer dana dan pembangunan daerah.

Ketiga Kolaborasi Pengawasan Program Pemerintah

DPD harus aktif memastikan bahwa program pemerintah pusat yang dijalankan di daerah benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. “Kolaborasi pengawasan ini penting, sesuai tupoksi,” tambahnya.

Dedi juga menyinggung soal kurangnya ekspos media terhadap kerja-kerja DPD karena isu-isu daerah dianggap kurang menarik. “Isu DPD ini normatif, jadi jarang jadi media darling. Tapi bukan berarti kita tidak bekerja,” katanya.

Dalam forum yang sama, pendiri Skala Survei Indonesia (SSI), Abdul Hakim, menilai sistem ketatanegaraan Indonesia sejak kemerdekaan terus mengalami perubahan bentuk dari presidensial ke parlementer dan kembali ke presidensial lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Menurutnya, dinamika sistem ini menunjukkan bahwa Indonesia selalu mencari jalan tengah antara dua kutub sistem pemerintahan.

“Demokrasi kita adalah demokrasi jalan ketiga. Secara konstitusional kita presidensial, tapi dalam praktik sering bercorak parlementer. Itu sebabnya muncul fenomena oposisi abu-abu,” kata Abdul.

Ia menyebut, dalam sistem presidensial seperti Indonesia, tidak ada oposisi resmi sebagaimana dalam sistem parlementer. Namun dalam praktik, partai politik bisa berpindah dari oposisi ke koalisi, menciptakan ketidakjelasan peran pengawasan di parlemen.

Abdul menegaskan, keguyuban politik ala Indonesia adalah tradisi positif, tapi harus diimbangi dengan kritik dan pengawasan yang tajam.

“Demokrasi butuh harmoni, tapi juga butuh ketegangan yang produktif. Tanpa oposisi yang tegas, demokrasi kehilangan daya kritisnya,” ujar Abdul.

Ia menilai, peran DPD bisa menjadi pengisi kekosongan oposisi formal lewat pengawasan langsung di daerah. Namun untuk itu, kewenangannya harus diperkuat, baik melalui amandemen konstitusi maupun penguatan kelembagaan.

“Kalau tidak diperkuat, demokrasi kita bisa jadi gemuk di pusat tapi kurus di daerah,” tutupnya.


baca juga :