JAKARTA - Di tengah dinamika politik dan ekonomi global yang makin kompleks, anggota Badan Pengkajian MPR RI sekaligus DPD RI Fadel Muhammad menilai kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto membuka babak baru bagi Indonesia. Namun, ia mengingatkan bahwa tantangan terbesar bangsa hari ini bukan sekadar pembangunan fisik atau diplomasi internasional melainkan pemerataan kesempatan ekonomi di dalam negeri.
“Masalah kita bukan sumber daya, tapi kesempatan yang tidak merata. Orang kaya makin kaya, sementara kelompok bawah dan menengah makin terdesak,” kata Fadel berbicara dalam Diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia bertema ‘Memperkuat Jati Diri Bangsa di Mata Dunia melalui Fungsi Kebangsaan MPR RI’ di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/10/2025).
Fadel berbicara bukan dari menara gading. Ia pernah menjadi Gubernur Gorontalo, Menteri Kelautan dan Perikanan, hingga anggota DPR RI. Dengan pengalaman panjang di pemerintahan dan dunia usaha, Fadel melihat bahwa ketimpangan akses terhadap peluang ekonomi masih menjadi luka lama bangsa yang belum sembuh.
Ia menggambarkan struktur masyarakat Indonesia seperti piramida dengan segelintir orang di puncak menikmati kekayaan besar, sementara mayoritas rakyat masih berjuang di lapisan bawah. “Struktur itu seharusnya diubah menjadi belah ketupat. Artinya, kelas menengah harus diperbanyak melalui pemerataan kesempatan berusaha,” ujarnya.
Menurut Fadel, Presiden Prabowo telah memperlihatkan keberanian dan kepercayaan diri di panggung dunia, baik dalam forum diplomatik maupun kebijakan strategis nasional. Namun, di level domestik, pemerataan kesempatan berusaha harus menjadi prioritas utama dalam dua hingga tiga tahun pertama pemerintahannya.
Lantas, mantan Gubernur Gorontalo ini menyinggung langkah Prabowo yang menegur bank-bank milik negara, karena pembiayaan besar hanya mengalir ke kelompok terbatas. "Beliau sudah mulai menanyakan siapa yang pakai uang negara paling banyak. Dan ternyata itu-itu saja. Ini harus diubah,” kata Fadel.
Sebagai contoh, Fadel mengisahkan kebijakan saat dirinya memimpin Gorontalo, di mana ia menyalurkan dana APBD Rp10 miliar ke bank-bank daerah dan menggandeng Askrindo agar bisa dijadikan jaminan bergulir senilai Rp100 miliar bagi petani jagung. Langkah itu, menurutnya, memberi ruang bagi masyarakat kecil untuk mengakses kredit tanpa agunan besar.
Fadel juga menyoroti derasnya arus produk impor, terutama dari China, yang menggerus industri manufaktur nasional. Ia menilai, kemandirian ekonomi tidak akan tercapai tanpa keberanian politik untuk membangun basis produksi di dalam negeri.
“Barang-barang dari luar, terutama China, sudah terlalu murah. Kalau kita tidak membangun manufaktur sendiri, kita akan jadi pasar abadi bagi mereka,” ujarnya.
Bagi Fadel, kemandirian bangsa tidak bisa dibangun dalam ruang kosong. Ia menegaskan perlunya strategi nasional yang mencakup tiga aspek utama, yakni reformasi pendidikan, agar menghasilkan sumber daya manusia yang kreatif dan produktif; Kebijakan perbankan inklusif, yang memberi akses modal bagi sektor usaha kecil dan menengah; Keadilan dalam sistem usaha, agar konglomerasi besar tidak memonopoli ruang ekonomi.
“Kita tidak melarang orang jadi besar. Tapi kalau sudah besar, jangan ambil semua ruang. Beri kesempatan bagi yang lain tumbuh,” tegasnya.
Di akhir paparannya, Fadel menyampaikan keyakinannya bahwa era Prabowo bisa menjadi momentum menuju transformasi ekonomi yang lebih adil dan berdaulat—jika keberanian politik untuk membagi kesempatan benar-benar diwujudkan.
“Kemandirian bangsa tidak lahir dari wacana, tapi dari keberanian memberi kesempatan yang sama bagi seluruh rakyatnya,” pungkas Fadel.