Jakarta - Era rezim ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) di tubir jurang. Gerilya elit politik mencari figur untuk diusung dalam kontestasi pilpres 2024, mengindikasikan sistem pemilu berbasis presidential threshold tak lagi relevan. Tiket milik partai politik terancam kadaluwarsa.
Hak eksklusif sebagai pemilik tiket ke gelanggang pilpres, terbukti tak bisa jadi pegangan. Posisi tak digaransi aman. Dinamika politik paling anyar memaksa semua partai memasang kuda-kuda. Menatap Pilpres 2024, koalisi pemerintah pecah. Jagoan yang kemungkinan diusung berbeda.
Dalam imajinasi rezim, presidential threshold semestinya menguntungkan koalisi pemerintah saat ini. Akumulasi perolehan kursi di DPR sebesar 82 persen, memungkinkan parpol yang bernaung di bawah atap Istana melenggang dengan mulus ke babak kekuasaan selanjutnya.
Namun celaka. Koalisi retak. Langkah tak lagi kompak. Terjadi perbedaan selera soal siapa yang bakal diusung pasca Presiden Joko Widodo. Beberapa menteri telah terang-terangan bermanuver. Mengorganisir relawan dan memanfaatkan jabatan untuk tampil menawarkan diri ke publik. Termasuk dilakukan oleh yang tak punya partai politik.
Perbedaan preferensi setelah Jokowi, tak lepas dari kepentingan yang juga tak lagi sama. Joko Widodo sendiri diyakini tidak bakal gegabah taken for granted. Kepentingan terbesar Jokowi setelah lengser nanti, adalah memastikan sosok penggantinya bisa menjamin posisi Jokowi aman secara hukum, dan juga secara politik. Syukur-syukur kebijakannya diteruskan.
Dengan kondisi koalisi pemerintah yang kocar-kacir seperti sekarang, bandul politik Jokowi lemah. Sebagai petugas partai, politisi asal Solo ini tidak punya kewenangan mengonsolidasi partai lain. Kecuali atas nama jabatan publik yang melekat di masing-masing pimpinan partai. Jokowi sebagai Presiden.
Saat ini, PDIP satu-satunya parpol yang memegang golden ticket. Tiket berstatus akses penuh dan dapat mencalonkan pasangan presiden dan wapres. PDIP meraih 22,26% kursi di DPR.
Kendati demikian, elektabilitas Puan Maharani, jagoan partai besutan sang ibunda, masih jauh dari harapan. Sehingga semua analisis memproyeksi Puan akan disodorkan pada posisi calon wakil presiden. Kans Puan lebih terbuka jika menempel pada figur dengan elektabilitas tinggi.
Cuma ada tiga nama yang konsisten mengorbit di tiga urutan teratas semua lembaga survei. Yaitu Anies Baswedan, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo. Informasi yang beredar memperlihatkan kedekatan tidak biasa antara Puan Maharani dengan Anies Baswedan.
Pertanyaannya, bagaimana nasib partai-partai, pemilik tiket tidak penuh? Sejauh mana petualangan partai-partai itu mengompromikan kepentingan, mencari figur serta ongkos untuk masuk gelanggang.
Elit partai kini kasak kusuk mencoba berbagai formula. Kongsi masih teka-teki. Kompromi terus dijajaki agar tiket terpakai. Punya harga, dan tidak kedaluwarsa di gelanggang kontestasi.
Di level pimpinan partai, tidak ada nama yang mentreng. Paling banter Prabowo Subianto. Tapi patut dicatat, Gerindra bukan pemegang golden ticket. Prabowo masih harus mencari rekan koalisi untuk mengajukan nama dan masuk ke arena.
Sementara partai-partai lain tampak inferior. Tidak pede menawarkan kandidatnya. Rasa rendah diri itu tercermin dari minimnya nama elit partai di bursa survei sebagai figur yang dikehendaki rakyat. Memang beberapa ketua umum terus menyodorkan diri melalui sosialisasi masif, namun elektabilitasnya mentok. Tak pernah beranjak ke angka yang bikin sumringah.
Inilah dampak buruk desain pemilu berbasis ambang batas perolehan suara yang diterapkan di Indonesia. Selain membatasi figur pada pilihan-pilihan terbatas, presidential threshold juga menjelma menjadi kuburan bagi partai politik. Pengalaman pemilu sebelumnya, sejumlah partai akhirnya gagal ke Senayan karena tak mampu meraih cottail effect akibat tak memunculkan figur. Malah mengampanyekan figur dari partai lain.
Aneh bin ajaib. Kandidatnya menang, partainya ketinggalan. Sebuah paradoks demokrasi yang lagi-lagi timbul karena rezim presidential threshold.
Selain itu, presidential threshold berefek pada tidak terbangunnya tradisi politik yang baik. Parpol mandul sebagai dapur kaderiasasi kepemimpinan. Alih-alih menyodorkan kader, parpol malah lebih sibuk mencari figur dari luar, yang kuat dan punya magnet di masyarakat.
Presidential threshold mematikan fungsi partai sebagai laboratorium pemimpin bangsa. Pada akhirnya, elit partai terjebak berpikir jangka pendek jelang pemilu. Memberikan jas kepada figur yang dianggap mampu memenuhi syarat. Terutama uang mahar pembeli tiket yang sudah jadi rahasia umum.
Mekanisme ini akhirnya jadi portal bagi oligark pemilik modal menancapkan pengaruhnya. Ongkos politik yang tinggi untuk kampanye, dan berbagai kebutuhan lain, tidak mungkin dapat dibiayai seorang kandidat. Satu-satunya cara yang memungkinkan proses tersebut berlanjut, adalah dengan membuka “partisipasi” pihak ketiga.
Potret partai paceklik figur menghadapi Pilpres 2024, memvalidasi kekhawatiran kita terhadap komorbid presidential threshold. Nasib parpol-parpol papan tengah dan papan bawah kini terancam menggantang asap. Daya tawar melemah. Jika gagal menemukan figur yang tepat, dan dibekali modal popularitas serta sokongan kapital mumpuni, nasibnya bisa terbenam di pemilu 2024.
Status sebagai pemegang tiket ke gelanggan, rupanya serba tanggung dan tak pasti karena urusan ambang batas pencalonan. Bahkan sangat mungkin di tikungan akhir nanti, ada parpol yang terpaksa menyodorkan tiket gratisan. Demi dapat tempat duduk di dalam gerbong.
Dinamika poitik yang terjadi tak hanya bikin elit parpol kerepotan bermanuver dan ketakutan tertinggal kereta, publik juga dibuat lelah dengan aneka drama yang jauh dari kata memperjuangkan kepentingan rakyat. Situasi pelik ini semestinya menjadi pembelajaran bagi semua parpol. Presidential threshold telah membuka mata kita tentang pangkal semua problematika politik yang terjadi di Indonesia.
Saat perolehan suara masih tinggi, atau masih punya rekan koalisi, presidential threshold mungkin dianggap hal biasa. Tapi siapa yang berani jamin, pada pemilu mendatang suara partai tak jeblok. Tidak ada yang bisa memaksa partai lain agar tetap mau jalan bareng dalam satu atap koalisi sementara kepentingnya sudah berubah.
Karena itu, perlu langkah berani untuk mendobrak segala kebuntuan ini dengan melakukan gugatan terhadap presidential threshold. Ambang batas pencalonan ini tidak kompatibel dengan demokrasi yang hendak kita bangun. Presidential threshold merusak tatanan dan infrastruktur politik Indonesia.
*) Penulis adalah Ketua Kelompok/Ketua Fraksi DPD di MPR, Tamsil Linrung