Dialog di Jenewa, Kemenkumham Bahas Pemilu dan Isu HAM

Fuad Rizky Syahputra | Rabu, 13 Maret 2024 - 12:08 WIB
Direktorat Jenderal (Ditjen) Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) membahas pelaksanaan pemilu dan isu HAM saat berpartisipasi dalam dialog konstruktif dengan Komite Hak-Hak Sipil dan Politik di Palais Wilson, Jenewa, Swiss, pada Senin dan Selasa (12/3).

Dialog di Jenewa, Kemenkumham Bahas Pemilu dan Isu HAM
Dialog konstruktif dengan Komite Hak-Hak Sipil dan Politik di Palais Wilson, Jenewa, Swiss.
-

Jakarta - Direktorat Jenderal (Ditjen) Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) membahas pelaksanaan pemilu dan isu HAM saat berpartisipasi dalam dialog konstruktif dengan Komite Hak-Hak Sipil dan Politik di Palais Wilson, Jenewa, Swiss, pada Senin dan Selasa (12/3).

Isu HAM yang dibahas di antaranya adalah perkembangan di Papua dan Aceh, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), aborsi, hukuman mati, kerangka regulasi yang diduga diskriminatif, kebebasan beragama, kelompok rentan dan minoritas, anti-penyiksaan, serta penanganan pelanggaran HAM berat.

“Rekomendasi dari Komite tentu akan dipertimbangkan bersama dengan berbagai rekomendasi dari Mekanisme HAM PBB lainnya, seperti UPR (Universal Periodic Review), untuk perumusan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) generasi mendatang,” ucap Direktur Jenderal (Dirjen) HAM Kemenkumham Dhahana Putra dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Rabu.

Dhahana yang berpartisipasi sebagai wakil ketua delegasi Indonesia dalam dialog tersebut mengatakan pertemuan dengan Komite Hak-Hak Sipil dan Politik mencerminkan komitmen pemerintah dalam berbagi pandangan guna memajukan dan melindungi HAM di tanah air.

“Kami memandang partisipasi dalam dialog ini sebagai upaya penting untuk mengidentifikasi perbaikan yang perlu dilakukan dan rekomendasi konkret untuk mengatasi tantangan-tantangan yang ada,” ucap Dhahana.

Secara umum, kata Dhahana, Komite mengapresiasi upaya pemerintah Indonesia dalam mendorong implementasi hak-hak sipil dan politik. Salah satu yang memantik respons positif Komite adalah telah adanya strategi nasional bisnis dan HAM di Indonesia.

Kendati demikian, sambung dia, Komite juga mencatat sejumlah tantangan dalam upaya penguatan kerangka hukum, kebijakan, dan kapasitas negara guna mengimplementasikan hak-hak sesuai ketentuan kovenan.

Merespons isu seputar regulasi diskriminatif yang dilontarkan komite, Dirjen HAM menekankan pentingnya pengintegrasian prinsip-prinsip HAM dalam kerangka hukum di Indonesia.

Ia menyebut Kemenkumham tengah melakukan pembahasan yang intensif terkait parameter HAM dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.

“Tujuan penyusunan parameter HAM ini sendiri adalah mengintegrasikan perspektif HAM dalam seluruh produk hukum baik nasional maupun daerah sehingga kita dapat mencegah atau meminimalkan munculnya peraturan yang misalnya diduga berpotensi diskriminatif,” ucap Dhahana.

Sementara itu, Direktur Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Tri Tharyat menjelaskan bahwa dialog konstruktif ini merupakan proses penting bagi negara-negara yang telah meratifikasi kovenan hak-hak sipil dan politik.

“Penting untuk dipahami bahwa dialog konstruktif bukan sebuah forum penghakiman, tetapi dialog untuk saling berbagi pandangan yang tentunya bermanfaat dalam meningkatkan penikmatan HAM di tanah air,” jelas Tri Tharyat selaku ketua delegasi Indonesia.

Komite Hak-Hak Sipil dan Politik beranggotakan 18 pakar independen dan bertugas untuk memonitor implementasi Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Indonesia telah meratifikasi kovenan tersebut melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.

Dialog konstruktif bersama Komite Hak-Hak Sipil dan Politik ini merupakan kali kedua yang diikuti pemerintah Indonesia. Sebelumnya, pemerintah telah menyampaikan laporan implementasi kovenan pada tahun 2013.