Jakarta - Kepala Badan Bank Tanah, Parman Nataatmadja mengungkapkan, untuk mendapatkan tanah terlantar harus menunggu penetapan dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Selain itu, Parman juga mengatakan pihaknya ikut melakukan survei untuk mencari tanah yang terindikasi terlantar.
"Kita juga survei di mana sih ada tanah-tanah terlantar, dan dari Ditjen Tanah Terlantar, kita ke sana juga untuk cek datanya, tapi belum tentu semuanya bisa diambil," kata Parman di Jakarta, Jumat (8/11) lalu.
Untuk menguasai tanah terlantar, kata Parman, pihaknya kerap menghadapi beberapa kendala. Salah satunya adalah adanya penguasaan tanah kosong.
"Tanah negara ini tergantung full dari ATR/BPN. Yang kedua, biasanya ada penguasaannya. Nggak ada di republik ini yang tanahnya clean ya, (tanah) nggak ada penduduknya itu nggak ada," tutur Parman.
Contohnya seperti yang terjadi di lahan yang digunakan sebagai Bandara di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur. Pada awalnya, lahan tersebut tidak ada pemiliknya, namun kerap digunakan masyarakat sekitar untuk bercocok tanam.
Bagi masyarakat terdampak pembangunan Bandara IKN, pemerintah menyediakan skema Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan (PDSK) berupa tanam tumbuh. Bagi masyarakat yang terdampak juga nantinya dapat mengelola Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
Karena masyarakat terdampak mendapatkan insentif tersebut, hal itu sempat membuat beberapa oknum mulai membangun bangunan semi permanen di kawasan itu supaya mendapatkan insentif atau ganti rugi karena lahan tempat tinggalnya dipakai untuk pembangunan Bandara IKN. Namun, hal itu tidak bisa dilakukan karena bangunan tersebut ilegal.
"Awal-awal kita ke sana juga nggak ada yang tinggal, yang ada paling gubuk, ketika ditanya punya siapa dijawab punya orang Semarang. Sekarang juga banyak (tiba-tiba ada tempat tinggal), tapi dianggap ilegal," kata Parman.
"Ya karena di sini ada bandara ya dan nilai tanah di sini jadi naik semuanya, value nya naik," tambahnya.
Seperti diketahui, Badan Bank Tanah (BBT) merupakan sebuah badan khusus yang dibentuk oleh pemerintah pusat untuk mengelola tanah.
BBT baru berdiri setelah ditandatanganinya Peraturan Presiden Nomor 113 Tahun 2021 oleh Presiden Joko Widodo pada 27 Desember 2021.
Dalam menjalankan tugasnya untuk memperoleh tanah, BBT bisa mendapatkannya melalui tanah hasil penetapan pemerintah dan tanah dari pihak lain. Tanah hasil penetapan pemerintah yang bisa diperoleh oleh BBT adalah tanah negara, salah satunya yang berasal dari kawasan dan tanah terlantar.
Dalam Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 20 tahun 2021 tentang Tata Cara Penertiban dan Pendayagunaan Kawasan dan Tanah Terlantar, yang dimaksud dengan kawasan terlantar adalah kawasan non kawasan hutan yang belum memiliki Hak Atas Tanah yang telah memiliki izin/konsensi/perizinan berusaha yang sengaja tidak diusahakan, tidak digunakan, dan/atau tidak dimanfaatkan.
Sementara itu, tanah terlantar adalah tanah hak, tanah Hak Pengelolaan, dan tanah yang diperoleh berdasarkan Dasar Penguasaan Atas Tanah (DPAT) yang sengaja tidak diusahakan, tidak digunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara.