Jakarta - Berdasarkan laporan temuan BPK semester II tahun 2020 terhadap PT Pupuk Indonesia (Persero) dan anak perusahaannya yaitu PT Pupuk Iskandar Muda, PT Pupuk Kaltim, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Sriwijaya Palembang, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Indonesia Logistik, ditemukan beberapa penyimpangan yang merugikan negara.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi IV DPR RI Slamet menyampaikan, di tengah penghargaan atas keberhasilan PT. Pupuk Indonesia HC membukukan keuntungan, namun tetap harus memperhatikan temuan BPK tersebut.
"Jangan sampai ada kesan subsidi pupuk untuk petani justru banyak dinikmati oleh BUMN Pupuk,“ kata Slamet dalam berita rilisnya, Selasa (20/7/2021).
Slamet menjelaskan, ada banyak temuan BPK terkait Harga Pokok Produksi (HPP) yang terlalu tinggi karena memasukan biaya-biaya yang seharusnya bukan komponen biaya produksi sehingga tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01/Permentan/Sr.130/1/2012 Tentang Komponen Harga Pokok Penjualan Pupuk Bersubsidi untuk sektor pertanian.
"Temuan lain dalam laporan BPK tersebut adalah terkait manajemen hubungan kerja dengan para rekanan yang menyebabkan pemborosan pada biaya distibusi yang ujungnya juga dibebankan pada Harga Pokok Produksi yang menyedot subsidi pupuk negara pada pembiayaan yang tidak semestinya," ungkapnya.
Di samping itu, sambung Slamet, ditemukan juga penyaluran pupuk bersubsidi yang belum direncanakan, dilaksanakan dan dipantau secara cermat sehingga tidak tepat sasaran mulai dari distributor sampai ke pengecer. Hal ini berpotensi ada petani yang tidak mendapatkan haknya sesuai eRDKK, atau menyebabkan kelangkaan pupuk di lapangan.
"Persoalan besar pupuk bersubsidi terletak pada besarnya angka subsidi pupuk oleh negara dan manajemen penyaluran yang tidak tepat sasaran menyebabkan pupuk bersubsidi langka, sehingga tetap tidak bisa dirasakan oleh banyak petani dan tidak bisa mendongkrak produktifitas petani. Alhasil angka pertumbuhan produksi panen padi petani menjadi stagnan bahkan cenderung menurun," papar Legislator Fraksi PKS itu.
Dikatakannya, angka subsidi yang sebesar Rp34,2 triliun hanya baru mensubsidi sekitar 34 persen dari kebutuhan eRDKK, atau sekitar 8,8 juta ton dari 26,2 juta ton.
Ia mengatakan, di sisi lain kita sebenarnya banyak melihat kemampuan petani, UKM dan perusahaan swasta menciptakan pupuk murah yang bagus dan diminati petani. Tetapi pemerintah melakukan pembatasan dan mekanisme izin yang super ketat sehingga sulit ditembus, lebih ketat dari masuknya pupuk impor.
“Di tengah kelangkaan pupuk bersubsidi dan tingginya subsidi pupuk, saya menyarankan agar presiden membuka pembatasan peran serta masyarakat untuk ikut membangun negara melalui penemuan pupuk bagus dan murah dan menekan pemborosan. BUMN harus efisien dan tidak kalah bersaing dengan pupuk buatan petani, UKM atau swasta lainnya," pungkasnya.