JAKARTA - Komisi I DPR meminta TNI serius mengusut kasus dugaan penganiayaan terhadap pelajar berinisial MHS (15) di Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut), hingga korban tewas.
MHS diduga dianiaya oleh oknum TNI sampai terluka parah, lalu kemudian meninggal dunia pada bulan Mei lalu.
Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid menjelaskan, kasus tersebut sudah terjadi pada Mei lalu. Meski demikian, lanjutnya, belum ada tindak lanjut serius dari kasus tersebut hingga kini.
“Kasus ini sudah cukup lama, tapi sampai sekarang belum juga ada kejelasan dari TNI. Kami menuntut POM [Polisi Militer] serius mengusut kasus ini karena pelaku diduga berasal dari institusi TNI,” kata Meutya dalam keterangannya, Rabu (31/7/2024).
Peristiwa ini bermula saat MHS dan temannya menonton insiden tawuran di Jalan Pelican, Deli Serdang, Medan pada 24 Mei 2024. Petugas kepolisian dan TNI yang berada di lokasi langsung membubarkan tawuran tersebut dan mengamankan beberapa orang termasuk MHS.
Berdasarkan keterangan saksi yang merupakan teman korban, MHS sempat ditangkap dan diduga dianiaya oleh anggota Babinsa di sekitar lokasi karena dianggap ikut terlibat dalam tawuran.
Oleh oknum TNI itu, MHS disebut dipukul hingga jatuh ke bawah rel kereta api dan mengalami luka penganiayaan di bagian kepala, dada, dan tangan.
MHS yang masih duduk di kelas 3 SMP ini pun sempat tidak sadarkan diri namun oknum Babinsa yang diduga melakukan penganiayaan meninggalkan korban di lokasi kejadian. MHS lalu sempat dilarikan ke rumah sakit untuk mendapat perawatan. Hanya saja MHS akhirnya meninggal dunia keesokan harinya.
“Kami mengecam tindakan penganiayaan ini jika benar terjadi, apalagi sampai korban kehilangan nyawa. Kasus ini harus betul-betul ditangani, tentunya secara transparan untuk memastikan proses hukum berjalan dengan adil,” ungkap Legislator dari Dapil Sumatera Utara itu.
Meutya juga menyoroti pihak TNI yang seolah mengecilkan kasus kematian MHS. Hal ini mengingat lantaran orangtua korban sudah melaporkan dugaan penganiayaan oleh oknum Babinsa ke Denpom I/5 Medan sejak kematian korban, namun sampai sekarang pengusutan kasusnya tidak ada kejelasan.
Meski pihak Kodam I/Bukit Barisan (BB) membantah adanya penganiayaan oleh personelnya, Meutya mengingatkan seharusnya tetap ada penjelasan terhadap kasus ini. Bukan malah membiarkan kasus ‘terkubur’ begitu saja.
“Kalau memang tidak ada penganiayaan, buktikan secara jelas dan terang-terangan. Saksi-saksi sudah diperiksa dan memberikan keterangan, penyelidikan dan penyidikan seharusnya terus berlanjut,” tegas Meutya.
Diketahui pada Senin (29/7) kemarin, keluarga korban mendatangi kantor Komnas HAM di Jakarta untuk meminta pengawalan proses hukum dan guna mengungkap kebenaran dalam kematian MHS. Pasalnya sudah dua bulan sejak peristiwa itu terjadi belum ada satu tersangkapun yang ditangkap atau diadili.
Meutya mendukung langkah keluarga korban tersebut, dan meminta jajaran TNI agar bekerja sama.
“Tak ada pembenaran dari hilangnya nyawa seseorang akibat arogansi dan kekerasan aparat. Maka kasus ini harus diusut tuntas, dan berikan sanksi hukum kepada pelaku jika terbukti bersalah,” ungkapnya.
Meutya menilai, penyelidikan kasus kematian MHS harus cepat dilakukan demi keadilan bagi keluarga korban. Ia juga meminta pimpinan TNI untuk tidak menutup mata terhadap kejadian tersebut.
“Harus diingat, tugas TNI salah satunya adalah melindungi rakyat. TNI harus membuktikan profesionalisme dan integritasnya dengan tidak menutup-nutupi kasus hukum,” sebut Meutya.
Komisi I DPR sebagai mitra TNI pun menyayangkan lambannya pengungkapan kasus kematian MHS. Apalagi, kata Meutya, isu arogansi aparat tengah menjadi sorotan belakangan ini mengingat banyaknya kejadian serupa misalnya seperti yang terjadi di Padang walaupun terduga pelaku bukan dari satuan TNI.
“Seharusnya TNI bisa lebih peka karena kasus-kasus seperti ini sangat sensitif. Kami berharap semangat ksatria TNI juga dapat ditunjukkan dalam penanganan kasus hukum yang melibatkan jajarannya,” ucap anggota DPR perempuan yang juga mewakili Deli Serdang itu.